Tepat tanggal 21 Desember 2013 kemarin saya mudik ke kampung halaman,
tujuannya disamping karena ada undangan walimahan sahabat saya, juga karena
sudah 2 bulan lamanya tidak berjumpa kanjeng ibu dan bapak tercinta. Dan
kebetulan momennya tepat, pagi itu tanggal 22 Desember, bada’ sholat subuh ibu
datang ke kamar saya mengantarkan secangkir kopi hangat dengan sapaan dan
senyumannya yang khas, tidak berubah sejak dulu. Sekalian saja saya ucapkan
selamat hari ibu, dan mendaratlah dua buah kecupan di pipi kiri dan kanan saya,
seumur-umur yang pernah nyium pipi saya ya cuma kanjeng ibu, budhe, dan simbah
saya, siapa lagi? tak ada yang lain.. (if you know what I mean).
Sehabis menikmati kopi hangat buatan kanjeng ibu, saya keluar
rumah menikmati sejuknya udara pagi di desa. Keliling jalan kampung, menyapa
tetangga, sambil ngemong adik dan ponakan-ponakan saya. Saat asik melihat
anak-anak bermain, pandangan mata saya tertuju pada rumah tua di seberang
sawah, dari sana keluar seorang nenek, sebut saja namanya Mbah Nar. Dengan langkah
tertatih, beliau keluar rumah untuk menjemur pakaian, pandangannya pun langsung
tertuju pada saya, beliau tersenyum, saya pun berteriak menyapanya “Mbah Naaar…”.
Ya Mbah Nar ini memang sudah seperti nenek saya sendiri, kata kanjeng Ibu
beliau sering menanyakan kenapa saya kok jarang pulang. Sesaat itu juga saya
berlari ke rumah Mbah Nar kemudian sungkem mencium tangannya.
Mbah Nar meminta saya masuk ke rumah, kami pun bercerita banyak
hal. Mbah Nar memang senang bercerita, saya pun berusaha menjadi pendengar yang
baik untuk beliau. Tak lupa saya juga menanyakan kondisi kesehatannya “Sehat to
Mbah Nar?”, sesaat itu tiba-tiba air mata Mbah Nar menetes. Awalnya saya tidak
tahu sebabnya, kemudian beliau mencurahkan semua isi hatinya. Katanya anak-anak
kandungnya saja tidak pernah menanyakan ibunya sehat atau tidak, sedangkan saya
yang bukan siapa-siapanya malah peduli dan ingin tahu kondisi beliau. Itulah
kenapa beliau terharu, ternyata anak-anaknya cuek dan kurang memperhatikan
beliau.
Mbah Nar memiliki empat orang putra dan seorang putri, semuanya sudah
mapan dan tinggal di rumahnya masing-masing. Mbah Nar tinggal seorang diri di
rumah karena suaminya sudah meninggal setahun yang lalu. Kewajiban mengurus dan
merawat Mbah Nar menjadi tanggungan putranya yang bungsu yang tinggalnya memang
bersebelahan dengan rumah Mbah Nar. Dari sini ceritanya mulai semakin pilu…