Menjelang engkau datang semua antusias dan berlomba menulis
status di akun facebook dan twitter-nya “aku merindukanmu ramadhan..”
Semua membicarakanmu,
Semua menyanjungmu, memujimu, layaknya kekasih yang
begitu dicinta yang lama tlah tak bersua,
Semua mengucapkan selamat, semua mengutarakan niat,
Di hari pertama engkau datang, masjid mendadak penuh sesak,
entah ini benar-benar rasa sayang atau hanya tradisi dari nenek moyang.
Jika benar kami merindukanmu, seharusnya kami berlomba-lomba
bangun di sepertiga malam sebagai keutamaan kedatanganmu. Namun nyatanya kami
lebih nyaman terbuai dalam bunga tidur pada setiap malam-malammu. Kewajiban
kami laksanakan, hanya sebatas menggugurkannya, sementara yang sunnah
jarang sekali kami mau menunaikannya.
Jika benar kami merindukanmu, seharusnya tidak ada lagi kata
yang saling menyakiti, saling mengungkap aib saudara sendiri, saling menggunjing,
memfitnah, mengumbar dusta dan canda yang sia-sia.
Jika benar kami merindukanmu, seharusnya kami tak enggan
mengorbankan sebagian harta dalam waktumu. Namun nyatanya kami lebih memikirkan
diri kami sendiri daripada memikirkanmu. Kami lebih memikirkan menu berbuka
puasa nanti daripada memikirkan sudah banyakkah amal kami hari ini.
Jika benar kami merindukanmu, seharusnya sesibuk apapun kami
pasti lantunan ayat suci akan berkumandang mengisi hari-hari. Namun nyatanya
kami lebih mencintai social media daripada ayat-ayat suci yang turun dari
Illahi.
Jika benar kami merindukanmu, seharusnya kami semua
memperbaiki diri, berpegang pada syariat, menutup aurat, dan menjaga syahwat. Namun
nyatanya kami masih saja mengumbar maksiat, tanpa kami sadari, karena jalan yang
telah sesat.
Wahai ramadhan, benarkah kami merindukanmu?
Bukankah hakikat dari rindu adalah mencurahkan segala perhatian pada yang dirindukan? berjuang untuk yang dirindukan? berkorban untuk yang dirindukan?