Halaman

Senin, 23 Desember 2013

Surga (pasti) di Telapak Kaki Ibu

Tepat tanggal 21 Desember 2013 kemarin saya mudik ke kampung halaman, tujuannya disamping karena ada undangan walimahan sahabat saya, juga karena sudah 2 bulan lamanya tidak berjumpa kanjeng ibu dan bapak tercinta. Dan kebetulan momennya tepat, pagi itu tanggal 22 Desember, bada’ sholat subuh ibu datang ke kamar saya mengantarkan secangkir kopi hangat dengan sapaan dan senyumannya yang khas, tidak berubah sejak dulu. Sekalian saja saya ucapkan selamat hari ibu, dan mendaratlah dua buah kecupan di pipi kiri dan kanan saya, seumur-umur yang pernah nyium pipi saya ya cuma kanjeng ibu, budhe, dan simbah saya, siapa lagi? tak ada yang lain.. (if you know what I mean).

Sehabis menikmati kopi hangat buatan kanjeng ibu, saya keluar rumah menikmati sejuknya udara pagi di desa. Keliling jalan kampung, menyapa tetangga, sambil ngemong adik dan ponakan-ponakan saya. Saat asik melihat anak-anak bermain, pandangan mata saya tertuju pada rumah tua di seberang sawah, dari sana keluar seorang nenek, sebut saja namanya Mbah Nar. Dengan langkah tertatih, beliau keluar rumah untuk menjemur pakaian, pandangannya pun langsung tertuju pada saya, beliau tersenyum, saya pun berteriak menyapanya “Mbah Naaar…”. Ya Mbah Nar ini memang sudah seperti nenek saya sendiri, kata kanjeng Ibu beliau sering menanyakan kenapa saya kok jarang pulang. Sesaat itu juga saya berlari ke rumah Mbah Nar kemudian sungkem mencium tangannya.

Mbah Nar meminta saya masuk ke rumah, kami pun bercerita banyak hal. Mbah Nar memang senang bercerita, saya pun berusaha menjadi pendengar yang baik untuk beliau. Tak lupa saya juga menanyakan kondisi kesehatannya “Sehat to Mbah Nar?”, sesaat itu tiba-tiba air mata Mbah Nar menetes. Awalnya saya tidak tahu sebabnya, kemudian beliau mencurahkan semua isi hatinya. Katanya anak-anak kandungnya saja tidak pernah menanyakan ibunya sehat atau tidak, sedangkan saya yang bukan siapa-siapanya malah peduli dan ingin tahu kondisi beliau. Itulah kenapa beliau terharu, ternyata anak-anaknya cuek dan kurang memperhatikan beliau.

Mbah Nar memiliki empat orang putra dan seorang putri, semuanya sudah mapan dan tinggal di rumahnya masing-masing. Mbah Nar tinggal seorang diri di rumah karena suaminya sudah meninggal setahun yang lalu. Kewajiban mengurus dan merawat Mbah Nar menjadi tanggungan putranya yang bungsu yang tinggalnya memang bersebelahan dengan rumah Mbah Nar. Dari sini ceritanya mulai semakin pilu…